Membidik Potensi Maritim Berau

10:03 Baso Hamdani 0 Comments


Pertama kali datang di Berau, saya langsung didecak kagumkan dengan sungai yang meliuk mengapit kota Tanjung Redeb yang merupakan ibu kota Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Nama sungainya adalah Sungai Segah yang bermuara di Selat Makassar sejauh 47 km. Tidak salah bila Bang Welli -̶ Kakak satu almamater di Korpala Kampus Merah -̶   menerangkan bahwa kota ini merupakan kota Sungai. Meski demikian sungai dan laut di kabupaten ini patut diperhitungkan karena selain merupakan alur transportasi juga memiliki sumber daya alam yang besar. Sebagai orang baru, tentu saya sangat terbantu oleh keberadaan sungai ini untuk bernavigasi dalam berkunjung bebas di Tanjung Redeb. 
Di Sungai Segah ini, kapal tagboat lalu lalang dari tambang batu bara menuju Selat Makassar yang akan
diekspor ke berbagai negara lain
Keriuhan kapal tagboat menderek Batu Bara melintasi Sungai Segah. Disudut lain kapal kayu jenis lambo melipir sedang bongkar muat barang sejajar dengan Jalan Pulau Derawan. Jalan ini lebih dikenal dengan nama Tepian Teratai, apalagi dengan ciri khasnya bangunan beton mengikuti pinggiran sungai dan keramaian penjual pisang gampit mirip pisang epe, makanan khas Makassar. Pantai ini juga mirip pantai losari zaman dahulu atau pantai di Pare-Pare masa kini. Perbedaannya, dikota tersebut dibangun di pinggir pantai namun disini dibangun di pinggir sungai yang memiliki lebar 392,29 meter. Di Sungai Segah, kita bisa menjumpai perahu sewa di dermaga kayu yang kecil untuk menyeberangi sungai dengan merogoh kocek hanya Rp.5000 sedangkan di dermaga kayu kecil lainnya dikhususkan untuk berwisata ke Pulau Derawan (112 km dari Tanjung Redeb) dan Pulau Maratua (120 km dari Tanjung Redeb). Tentu harganya berbeda yaitu Rp.350.000 per orang atau charter satu perahu seharga Rp 2.500.000.

Sebagai ukuran sebuah kabupaten, dengan aktivitas yang padat terutama terutama ekspor Batu Bara menjadikan Kabupaten Berau tergolong kabupaten yang maju. Penghasilan daerah dari Batu Bara meraih tingkat atas di kabupaten ini. Menurut Pak Nur – Petugas Pelabuhan Tanjung Redeb- perkembangan ini sebenarnya sudah meredup sejak dua tahun yang lalu akibat penurunan harga Batu Bara yang melonjak turun sementara biaya operasional yang tinggi. Saya melanjutkan percakapan dengan mengulas aktivitas Pelabuhan Tanjung Redeb. Ada tiga kapal yang bersandar ketika itu dengan bobot sekitar 2000 ton dengan kontainer maksimal 20 feet. Alur pelayaran kapal barang ini sebagian besar dari dan menuju Surabaya dan Makassar dengan barang bawaan seperti sembako dan semen. Harga pengiriman melalui laut menuju Surabaya dari pelabuhan ini sekitar 16 juta (Door to Door) atau 12 juta (Port to Port) sedangkan dari Surabaya sekitar 8 juta.
Pemandangan salah satu sudut kota yang diambil dari atas jembatan penyeberangan kota.

Selepas dari Pelabuhan, perjalanan saya melanjutkan perjalanan menuju UPTD PPI Sambaliung, tempat dimana transaksi hasil laut oleh nelayan dilakukan yang dibangun sejak sembilan tahun yang lalu namun baru ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2016. Menurut keterangan Pak Salman -̶  Kepala PPI Sambaliung -̶  setiap dini hari ada sekitar dua hingga tiga ton ikan yang didaratkan di pelabuhan ikan tersebut. Ikan-ikan tersebut sebagian besar untuk keperluan domestik Kabupaten Berau seperti ikan tongkol, gembong, bawal dan udang laut. Selebihnya, lobster, kakap dan gurami yang berasal dari Pulau Maratua di ekspor melalui Tarakan dan Surabaya dan kemudian menuju Singapura, Hongkong bahkan ke Amerika. Tercatat ada 16.766,3 ton pemanfaatan sumber daya ikan Kabupaten Berau pada tahun 2009 yang didominasi oleh penangkapan di laut sebesar 15.143 ton atau 90,32%. Dari data yang didapatkan luas laut Kabupaten Berau yaitu 12.887,47 km2 dengan panjang garis pantai 279,91 km2.
PPI Sambaliung ini memiliki pendapatan sekitar 250 juta per tahun
Di sisi lain, tantangan PPI ini untuk tetap bertahan sangatlah menohok. Banyaknya transaksi perikananan yang dilakukan bukan sesuai aturan atau dilakukan di PPI menjadi penyebab nomor satu lambannya kinerja PPI Sambaliung. Tidak hanya itu, Pak Kasman mengeluhkan tentang kebutuhan nelayan terhadap es balok. Dengan jumlah nelayan sekitar 4000an dengan pabrik es hanya 12 unit yang seharusnya 24 unit, kebutuhan es semakin sulit apalagi dari 12 unit tersebut kebanyakan hanya menghasilkan 150 balok dibandingkan rekomendasi produksi seharusnya 400 balok. Beliau mengharapkan agar pemerintah pusat terus memperhatikan permasalahan ini. Selain permasalahan es balok, harga bahan bakar untuk nelayan juga perlu mendapat perhatian khusus

“Disini kami menjual bensin sehari Rp.5.150 per liter. Sementara di laut, biasanya masyarakat membeli secara illegal dengan hanya Rp.4800 per liter secara illegal. Jarak PPI dari laut juga cukup jauh jadi untuk mencapai SPBN yang satu lokasi dengan PPI , nelayan harus masuk ke sungai dengan jarak yang jauh”, tandas Pak Kasman di ruang kerjanya. 

0 comments: