Analisis Kebijakan Kepmen KKP Nomor 2 tahun 2015

21:51 Baso Hamdani 1 Comments

Analisis Kebijakan Kepmen KKP Nomor 2 tahun 2015 Tentang Laran¬¬gan Pemakaian Trawl dan Pukat Tarik di WPP Indonesia
1. Pendahuluan
       Sektor perikanan merupakan sektor strategis dalam perekonomian Indonesia karena¬¬ memiliki potensi kelautan dan fishing ground yang sangat luas. Selain itu, keanekaragaman biota di laut Indonesia yang sangat beragam menambah potensi ekonomi tinggi bagi bangsa Indonesia. Namun, sifat industri perikanan tangkap yang open acess telah memunculkan adanya isu over fishing. Kondisi tersebut tentu sangat mengkhawatirkan karena secara ekonomi dapat menimbulkan inefisiensi serta penurunan stok sumber daya perikanan.
       Dengan kekayaan sumber daya alam laut yang dimiliki Indonesia maka sebuah keharusan untuk menjadi keunggulan kompetitif Indonesia, yang dapat menjadikan bangsa kita menuju bangsa yang adil, makmur, dan mandiri. Pembangunan perikanan di Indonesia salah satu persoalan mendasar dalam pembangunan perikanan adalah lemahnya akurasi data statistik perikanan termasuk baru-baru ini mengenai keakuratan kerugian sekotr perikanan yang dialami akibat illegal fishing.
Beberapa tantangan pembangunan maritim Indonesia seperti Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) dan degradasi ekosistem mampu menyebabkan kemiskinan pesisir serta kondisi keberlanjutan sumberdaya alam yang semakin terancam. Praktik IUU telah terjadi di Indonesia dan telah diperkirakan ada 4.326 kapal yang melakukan praktik IUU baik lokal maupun asing. Akibatnya potensi ikan Indonesia yang dicuri sebesar 25% mengakibatkan produksi menembus angka 107% (KKP, 2013).Berdasarkan hasil penelitian global diperkirakan IUU Fishing mencapai 30-40 persen dari hasil tangkapan total. Dalam definisi kegiatan illegal pencurian ikan, dimasukkan pula kategori hasil tangkapan yang tidak dilaporkan (unreported). Termasuk didalamnya adalah hasil tangkapan sampingan (by catch) dan kegiatan perikanan yang tidak diatur dalam sistem peratiran dan perundang-undangan (unregulated). Terhadap kedua kategori tersebut masih sangat minim perhatian yang diberikan, baik oleh para peneliti maupun anggota perikanan Indonesia.
     Kondisi ini turut menyumbang rasa keprihatan terhadap pengelolaan sumber daya perikanan Indonesia. Terdapat dua kondisi yang dialami laut Indonesia. Pertama, adalah over eksploitasi dan kedua, adalah under eksploitasi. Over eksploitasi merupakan pemanfaatan laut secara berlebihan namun tidak diimbangi oleh pembudidayaan atau regenerasi. Over eksploitasi banyak dialami oleh Laut Indonesia bagian barat, seperti Laut Jawa, Laut Sumatra, Laut Sulawesi, dll. Sedangkan, di Laut Indonesia bagian timur, seperti Laut Papua justru mengalami under eksploitasi. Itu terjadi karena penduduk di bagian timur Indonesia lebih sedikit dibandingkan penduduk di wilayah barat Indonesia. Akibatnya, tak sedikit masyarakat yang cenderung kurang memperhatikan laut, kelengahan ini dimanfaatkan oleh pihak asing untuk mencuri kekayaan laut Indonesia. Akibat over eksploitasi mampu menyebabkan penangkapan berlebih di berbagai daerah.
       Over fishing atau penangkapan berlebih adalah jumlah usaha penangkapan sedemikian tinggi dimana stok ikan tidak mempunyai kesempatan (waktu) untuk berkembang, sehingga total hasil tangkapan lebih rendah dibandingkan pada jumlah usaha yang lebih rendah (Sparre & Venema, 1992). Pada stok ikan dalam kondisi keseimbangan, sebuah hasil tangkap yang lebih tinggi dari nilai MSY tidak akan pernah terjadi. Namun pada kenyataannya, hasil tangkap lebih tinggi dari MSY kadang bisa terjadi dan sering kali diartikan sebagai tanda penangkapan berlebih atau over-fishing. Kemampuan alam untuk memperbaharui ini bersifat terbatas. Jika manusia mengeksploitasi sumberdaya melelebihi batas kemampuannya untuk melakukan pemulihan, sumberdaya akan mengalami penurunan, terkuras dan bahkan menyebabkan kepunahan.
Menurunnya sumber daya perikanan juga semakin diperparah dengan pemakaian peralatan tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan misalnya pemakaian trawl. Dikhwatirkan peralatan tersebut tidak bersifat berkelanjutan bagi SDA Perikanan. Dalam Permen KP No 2 tahun 2015 tersebut menyebutkan bahwa cantrang juga termasuk alat penangkapan ikan yang dilarang. Sebenarnya larangan penggunan Trawl telah dilakukan sejak tahun 1980 oleh presiden Soeharto dituangkan dalam Kepres Nomor 39 tahun 1980 tentang penghapusan jaringan Trawl. 
        Cantrang merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap sumberdaya perikanan demersal terutama ikan dan udang yang dilengkapi dua tali penarik yang cukup panjang yang dikaitkan pada ujung sayap jaring. Bagian utama dari alat tangkap ini terdiri dari kantong, badan, sayap atau kaki, mulut jaring, tali penarik (warp), pelampung dan pemberat. 
Salah satu untuk menjaga kelestarian ikan pemerintah mengatur tentang alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Gellwynn Jusuf ‎mengatakan pada berita di portalkbr.com, di Jawa Tengah penggunaan alat cantrang bukannya berkurang malah semakin meningkat. Salah satunya, jumlah kapal yang menggunakan alat tangkap canreang ini telah mencapai 10.758 di 2015, atau meningkat 100 persen dari 2007 yang hanya 5.100.
     Pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia sampai saat ini pihak pemerintah, yakni Departemen Kelautan dan Perikanan yang merupakan pengelola sumberdaya perikanan, terus mencari dan menyempurnakan cara yang tepat untuk diterapkan. Pemerintah bertanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia bagi kepentingan seluruh masyarakat, dengan memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Salah satu kebijakan pemerintah dalam Kepmen Nomor 2 tahun 2015. 

2. Pro dan Kontra Permen No 2 tahun 2015.
    Berdasarkan dampak penggunaan alat tangkap ikan jenis cantrang tersebut dikeluarkanlah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan NO.2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Pada pasal 4 ayat 1 dan 2 disebutkan jenis pukat tarik berkapal (boat or vessel seines) adalah cantrang. Dengan keluarnya peraturan menimbulkan pro dan kontra pada masyarakat di Jawa Timur. Seperti di beritakan di Kota Probolinggo ribuan nelayan dari pesisir Pantai Mayangan, Kota Probolinggo menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD. Mereka memprotes kebijakan menteri kelautan dan perikanan yang melarang nelayan menggunakan pukat tarik khususnya cantrang. Masyarakat nelayan mayangan kota probolinggo mengaku kehidupan mereka selama ini sudah bergantung dengan hasil tangkapan mereka di tengah laut. Para nelayan mengakui bahwa hasil tangkapan dengan cantrang jonggrang memberi kontribusi yang cukup besar dan selama ini menjadi andalan nelayan. Biasanya dengan cantrang jonggrang, para nelayan bisa menangkap ikan-ikan jenis demersal seperti kurisi, mangla, cumi-cumi, udang, dorang, dan putihan. Jika peraturan ini diberlakukan sudah dipastikan penghasilan mereka para nelayan jauh sangat berkurang dari biasanya.( tvrijatim.com ). Kebijakan itu juga berpotensi melumpuhkan mata pencaharian 3 ribu nelayan, dan 500 pedagang ikan di Kota Probolinggo. Bahkan sekitar 180 unit kapal motor nelayan terancam mangkrak. Di sisi lain, kebijakan itu juga mengancam lapangan pekerjaan  bagi 8 juta nelayan di 22 kota/kabupaten se-Jawa Timur. (m.beritametro.co.id).
      Selain yang kontra juga ada banyak kelompok nelayan yang merespon Permen Mentri Kelautan dan Perikanan tentang larangan pemakaian pukat tarik. Di antaranya kalangan nelayan kecil yang sangat berterima kasih. Kebijakan tersebut merupakan solusi dari kebuntuan dan ketidakjelasan peraturan yang telah berjalan selama puluhan tahun mengakibatkan rusaknya ekosistem alam laut hingga berdampak terhadap minimnya pendapatan dan hancurnya ekonomi masyarakat nelayan tradisional secara umum. Dampak positif pemberlakuan Kepmen tersebut penghasilan masyarakat nelayan meningkat secara perlahan.
3. Analisis Kebijakan
Menurut M. Riza Damanik, Direktur Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengeluarkan langkah-langkah efektif dalam mengawal secara penuh dalam masa transisi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Bersama pemerintah daerah, perguruan tinggi, organisasi nelayan, serta tokoh-tokoh masyarakat untuk melakukan simulasi dan pemantauan lapangan guna mengetahui operasionalisasi cantrang dari berbagai ukuran. Proses tranparan ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan terkait: status merusak atau tidak merusaknya alat tangkap cantrang, lalu semua pihak diharapkan dapat menerima hasilnya;
b. Mensosialisasikan dan menyelenggarakan pelatihan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan;
c. Menyiapkan skema pembiayaan untuk membantu peralihan ke alat tangkap ramah lingkungan melalui organisasi nelayan atau kelembagaan koperasi nelayan;
d. Menyelesaikan tuntas pengukuran ulang gross akte kapal ikan dan memfasilitasi proses penerbitan ijin baru;
e. Bekerjasama dengan organisasi nelayan dan institusi penegak hukum untuk menyiapkan skema pengawasan terpadu dan berbasis masyarakat;
f. Bersama pemerintah daerah menyiapkan instrumen perlindungan pekerja di atas kapal ikan (ABK), termasuk memastikan adanya standar upah minimum bagi ABK Kapal Perikanan yang menjadi amanat dari UU Bagi Hasil Perikanan dan UU Ketenagakerjaan. KNTI mengusulkan kepada KKP untuk mengintegrasikan perjanjian kerja antara pemilik kapal dengan ABK masuk sebagai syarat perizinan (SIUP/SIPI/SIKPI) dapat terbit.
g. Selama proses transisi, bersama pemerintah daerah menyiapkan skema perlindungan sosial terhadap para ABK dan keluarganya yang berpotensi terdampak;
h. Memastikan perlindungan wilayah tangkap bagi nelayan tradisional dari konflik alat tangkap melalui pengakuan atas wilayah pengelolaan nelayan tradisional dalam Rencana Zonasi di setiap provinsi dan kabupaten/kota pesisir;
i. Memastikan pada Masa Transisi agar semua pihak dapat menahan diri, serta aktif mencegah konflik dan terjadi kriminalisasi.
        Berdasarkan langkah-langkah tersebut bahwa keberlanjutan dan keberpihakan kepada Nelayan menjadi titik temu dari kebijakan tersebut, sehingga segala bentuk pembangunan berkelanjutan bisa terlaksan. Pembangunan perikanan yang berkelanjutan dapat diartikan sebagai pemanfaatan hasil perikanan yang dapat dipertanggungjawabkan, baik terhadap generasi setelah kita maupun terhadap lingkungan.  Bentuk pertanggungjawaban pada generasi setelah kita dapat dilakukan dengan cara menjaga kelestarian sumberdaya perikanan yang ada. Sedangkan bentuk tanggungjawab kita terhadap lingkungan dapat kita lakukan dengan cara lebih memperhatikan kelestarian lingkungan. Disamping itu Pembangunan perikanan yang berkelanjutan juga terkait dengan keberlanjutan keseluruhan aspek, mulai dari aspek ekonomi, soial dan ekonomi.
Trawl (foto:afma.go.au)
      Dalam upaya pemanfaatan hasil perikanan yang berkelanjutan peran pemerintah sangatlah penting dalam membuat kebijakan dan peraturan dalam pembangunan perikanan. Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan NO.  2/PERMEN-KP/2015 secara subtansi kebijakan ini secara substansi tepat. Pasalnya, menjamin keberlanjutan sumber daya ikan dan ekosistemnya. Jenis alat tangkap ini sejatinya varian pukat harimau yang mengancam ekosistem pesisir dan sumber daya ikan. Permen ini juga menjawab tentang pelestarian sumberdaya perikanan yang tidak diperhatikan, hal ini berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) yaitu masyarakat perikanan. Dalam kenyataan kesadaran masyarakat perikanan dalam melestarian sumberdaya ikan sangatlah minim dan cenderung merusak. Pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang akan meminimalisir over fishing, perusakan terumbu karang  dan tentunya menjaga  pelestarian suberdaya perikanan, hal ini masuk dalam aspek ekologi.
Jika di lihat aspek sosial, ekonomi masyarakat perikanan tangkap misalnya di daerah Jawa Timur bagian utara. Para nelayan menganggap alat tangkap cantrang adalah alat tangkap yang efektif dan efesien, mudah dalam pengoperasiannya dan produktifitasnya tinggi. Sehingga para nelayan terus bertumpu dan menggantungkan pada alat  tangkap cantrang  dan malah terus bertambah penggunaannya sehingga menjadi kebiasaan para nelayan menggunaan alat tangkap tersebut. Secara perekonomianpun di rasa oleh masyarakat nelayan meningkat dari pada menggunakan alat tangkap lainnya.   
Dengan melihat aspek ekologi pelestarian ikan dan kebutuhan masyarakat secara sosial dan ekonomi. Maka pemerintah harus tetap melaksanakan peraturan tersebut dengan menggunakan solusi dan strategi tertentu agar tidak terjadi gesekan dengan nelayan cantrang.
4. Rekomendasi
    Tumpang tindih antara kepentingan pembangunan perikanan dan pembangunan masyarakat nelayan semakin mengalami pergesekan dalam kepmen mengenai larangan trawl (KepmenNomor 2/Permen-KP/2015). Pembangunan perikanan berkelanjutan dengan tujuan untuk menjaga kelestarian ikan dianggap merugikan nelayan yang menggantungkan hidupnya pada penggunaan alat tangkap misalnya cantrang. Sehingga sedikitnya ratusan ribu jiwa merasakan dampak langsung dan lebih dari lima ratus jiwa lainnya merasakan dampak secara tidak langsung. Hal ini bisa dilihat pada saat massa atas nama nelayan melakukan demonstrasi.
Usaha agar supaya peraturan ini tidak merugikan nelayan, beberapa rekomendasi dibawah ini bisa menjadi rujukan pemerintah dalam menegakkan aturan tersebut:
a) Sosialisasi. Perlunya sosialisasi yang dilakukan pemerintah secara berkelanjutan kepada nelayan terkait pelarangan trawl dan sejenisnya di seluruh WPP Indonesia dengan melibatkan stakeholder, tokoh masyarakat dan nelayan.
b) Alternatif. Alternatif sebagai solusi bisa diberikan dengan penggantian alat tangkap tidak ramah lingkungan dialihkan ke peralatan tangkap yang ramah lingkungan. Tentunya hal ini membutuhkan waktu yang lama dan terutama adalah pelatihan. Selain peralatan tangkap yang ramah lingkungan, pekerjaan alternatif juga bisa dilakukan dalam poin ini. Redesign alat tangkap nelayan cantrang agar alat tangkap tersebut menjadi ramah lingkungan atau mensosialisasikan alat lain. 
c) Keterlibatan Nelayan. Nelayan yang merasakan terlebih dahulu peraturan ini. Sehingga dibutuhkan keterlibatan masyarakat nelayan dalam membuat peraturan pengelolaan perikanan di Indonesia agar tercipta kesadaran masyarakat dalam menegakkan peraturan dan pembangunan berkelanjutan. Tidak terkait secara menyeluruh mengenai peraturan menteri tapi bisa dilakukan secara regional sehingga bisa merefleksikan kebutuhan mereka secara mendalam. Hal ini termasuk pembentukan kelembagaan dan pengawasan terpadu dan berbasis masyarakat.
 (Baso, DFW)

1 comments: